2019: Ada 'Solusi' dalam 'Resolusi'


Konnichiwa. Kata itu yang pertama kali melintas di pikiranku malam ini. Mungkin ini ada kaitannya dengan 'Catch the moment' milik LiSA yang saat ini sedang kudengarkan.

Omong-omong, tak terasa kita sudah berada kembali di awal tahun. Saat-saat seperti ini biasanya menjadi momentum bagi banyak orang untuk merencanakan sesuatu dalam dua belas bulan ke depan. Meskipun aku pribadi tidak terlalu percaya dengan konsep waktu, yang bagiku hanyalah sebuah satuan imajiner (untuk memudahkan hidup manusia).





Tetapi, tidak ada salahnya juga dengan mengucapkan "Selamat Tahun Baru 2019" kepada kalian. Mungkin dengan begitu, aku akan sedikit terlihat 'normal'.

Berbicara mengenai tahun baru rasanya selalu saja dikaitkan dengan "Resolusi". Entah dari mana asal muasalnya kebiasaan menciptakan resolusi di awal tahun ini muncul. Tapi ini sangat menarik, setidaknya dengan ini mungkin kita bisa membangun rasa optimisme untuk menjadi orang yang lebih baik.

Meskipun bagiku, optimisme untuk menjadi lebih baik selalu saja terpikirkan. Bahkan hampir di setiap saat aku membuka mata. Mungkin ini agak terdengar konyol. Tapi begitulah kenyataannya. Selalu muncul keinginan untuk menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak atau paling tidak melakukan hal yang bermanfaat untuk orang lain.


MENJADI LEBIH BAIK

Aku selalu berpikir bahwa setiap proses dalam hidup ini akan menuntun kita ke arah yang lebih baik, meskipun jalan yang kita lalui kadang membuat kita terlihat  tidak lebih baik. Seperti layaknya sunat atau khitan bagi laki-laki, atau ujian nasional bagi pelajar, skripsi bagi mahasiswa, interview pekerjaan bagi pengangguran, menikah bagi jomblo ataupun yang lebih berat lagi yakni, melahirkan bagi seorang perempuan. Itu semua serangkaian proses yang akan kita lewati.

Terkadang jauh sebelum proses itu terlewati, kita sering berandai-andai. Bahkan tak jarang kita takut dengan kedatangan proses tersebut. Meskipun kenyataannya setelah kita berhasil melaluinya, semua akan menjadi lebih lega. Perasaan khawatir yang selama ini menghantui hilang begitu saja.

Menerima kegagalan memang bukan perkara mudah. Sama halnya dengan menerima kekalahan. Seperti yang saat ini sedang aku alami, menerima kenyataan bahwa skripsi yang aku susun harus tertunda.

Ya, begitulah hidup bagiku. Ada kalanya kita bisa menjadi yang terbaik di kelas, tetapi menjadi yang biasa saja di kantor. Ada juga sebaliknya, tak begitu berprestasi di kelas namun sangat baik dalam mempraktikkan ilmunya di kehidupan nyata. Begitu banyak kemungkinan yang dapat terjadi.

Dari kesekian banyak kemungkinan itu, aku pun memilih untuk menerima diriku sebagaimana adanya. Setidaknya dengan menerima kegagalan, mengakui kekalahan, serta mengintrospeksi diri bahwa semua yang terjadi merupakan akibat dari ketidakdisiplinanku, akan membuat diriku merasa lebih lega. Mengakui kegagalan adalah bentuk kejujuran yang berat. Aku bisa saja dengan mudah menuduh:

Ah, dosennya saja yang tak cocok denganku!
Kurasa aku kurang beruntung dapat dosen seperti itu!
Judul yang kupilih tak mudah!
Waktunya terlalu singkat!
Media yang kuteliti tak merespon!
Ia (dosen pembimbing) pasti sengaja membuatku tertunda!
atau...

Banyak sekali alasan-alasan yang bisa kubuat. Tetapi apakah benar faktanya seperti itu, itulah yang tak kuinginkan. Mencari pelampiasan atas ketidakpuasan.

Padahal kenyataannya, kita selalu mempunyai kesempatan. Apakah hidup menuntutmu untuk selalu tepat waktu pada deadline hidup yang kamu buat? Kurasa tidak. 

Misalnya sebagai contoh, aku pernah berencana untuk menikah saat usia 25 tahun. Namun ketika aku belum berhasil mewujudkannya, apakah kemudian aku menjadi tidak bernapas lagi? Tidak, aku masih bernapas. Bahkan usiaku saat ini telah  26 tahun.

Maksudku, memang sangat baik merencakan berbagai hal dalam hidup kita. Ada banyak orang yang berhasil melakukan rencana-rencana tersebut, tetapi ada juga yang belum berhasil. Lantas apakah dengan begitu kita harus berhenti melanjutkan hidup, tentu tak perlu berpikir se-ekstrem itu. Bukankah kita masih bisa mewujudkannya? Jika tak berhasil hari ini maka berusahalah untuk mewujudkannya di hari esok.

Aku pribadi tidak pernah membuang mimpi-mimpiku begitu saja. Aku selalu menyimpannya, dengan harapan suatu saat akan aku wujudkan. Atau setidaknya suatu saat akan aku coba kembali. Begitu seterusnya, tidak ada rencana ataupun mimpi yang sia-sia.




BERHENTI MENUNGGU

Dulu aku sering berpikir bahwa suatu saat nanti akan datang masa bahwa kita akan merasa sangat bahagia atau benar-benar bahagia. Selalu kubayangkan bahwa ketika aku nantinya telah berhasil membuat sebuah pencapaian hidup atau yang biasa kita sebut kesuksesan, aku mungkin tak lagi terbatas dalam melakukan berbagai hal. Meskipun pada akhirnya aku sadar, bahwa pemikiran itu tidak sepenuhnya benar.

Pertama, bagaimana aku sebegitu yakin bahwa pencapaian akan berhasil membuatku bahagia dan tak lagi terbatasi sesuatu. Padahal bisa saja, ketika berhasil mencapainya aku mungkin tanpa sadar telah melewatkan banyak hal yang tanpa kusadari hal-hal tersebutlah yang membuatku bahagia. Dan sebagai manusia, sesukses apapun keadaan kita, pasti tak bisa lepas dengan keterbatasan.

Kedua, mengapa aku harus menunggu untuk bahagia. Bagaimana jika pada akhirnya aku tidak bisa mencapai semua itu? Apakah hidupku selamanya tidak bahagia? Karena itu aku mengubahnya. Aku pun mulai berpikir bahwa ternyata dalam proses menuju pencapaian itu dapat kutemukan kebahagiaan, yakni kebahagiaan dalam menikmati proses. Entah itu di saat sedang menyenangkan ataupun memilukan. 

Ketiga, aku belajar untuk menjadi bahagia. Terdengar agak konyol memang, namun ini sedikit lebih efektif. Banyak yang bilang bahwa kebahagiaan dapat kita temukan pada hal-hal yang sederhana. Sesederhana kita menyadari dan mensyukuri apa yang telah kita lewati dan apa yang masih kita miliki.


BUKAN UNTUK MEMBUKTIKAN

Aku sering mendengar bahwa banyak orang yang berpikir kalau kesuksesan itu merupakan cara terbaik untuk balas dendam. Bahkan pemikiran itu sempat mendorongku untuk mencapai kesuksesan, dengan tujuan untuk membuktikan kepada orang lain bahwa aku bisa. Ya, untuk mereka yang pernah meremehkanku, menertawakanku, menganggapku bodoh, dan tidak berbakat. Sekadar itu saja.

Ketika kemudian aku sadar, tak ada gunanya memikirkan itu. Apakah mereka akan peduli ketika aku berhasil nanti? Bukankah orang yang membecimu tidak akan mengakui keberhasilanmu? Aku semakin sadar bahwa hidup ini bukan untuk pembuktian, terutama kesuksesan. Bukan juga hal yang perlu dipamerkan kepada orang-orang yang memandang kita sebelah mata.

Percayalah bahwa hidup dengan membawa dendam akan sangat melelahkan dan tertekan. Sesaat ia mungkin dapat menjadi pemicu dan semangat untuk maju, tetapi bukankah lebih baik kita membawa semangat yang positif. Bukan membawa dendam yang membara.

Lagi-lagi poin pentingnya adalah menerima. Dengan menerima, perlahan kita akan berhasil memaafkan. Kesuksesan kita adalah untuk kita sendiri, sebagai pengukur dan pengingat diri bahwa kita berhasil disiplin dan komitmen terhadap mimpi dan janji yang telah kita buat.




MULAILAH KEMBALI

Seringkali kegagalan membuat kita tak berani lagi mencoba. Entah itu gagal dalam  mengatur keuangan hingga gagal dalam menjalin hubungan. Ada kalanya kita hanya perlu mencoba kembali, daripada harus berhenti selamanya.

Tak perlu rasanya kita memikirkan "Sudah berapa kali aku gagal dalam hal ini?", tetapi yang perlu kita pikirkan ialah "Aku hanya perlu mencobanya lagi".

Bayang-bayang kegagalan memang selalu nampak menakutkan. Terlebih jika kita gagal di tahap terakhir saat kita hampir berhasil. Sangat muak rasanya dan enggan untuk mencoba lagi. Tak jarang kita akan menjauh dari hal itu, bahkan ingin menjauh dari semua hal. Atau yang paling parah, ingin menghilang dari semesta.

Aku memang bukan motivator. Aku sama seperti kalian. Bahkan aku sangat tidak asing dengan kegagalan. Aku juga menderita sekali dengan hal itu. Karena menurutku, terbiasa sakit pun tak akan membuat dirimu menjadi kebal. Tetapi aku juga tidak ingin menjadi orang yang menyerah sebelum mencoba, itu justru lebih memuakkan bagiku. 


Karena itu, ketika aku gagal, aku akan memikirkan cara terbaik agar dapat bangkit dan semangat kembali. Salah satunya dengan menulis seperti ini. Mungkin kalian punya cara masing-masing untuk bangkit, karena kitalah yang lebih mengenal siapa dan bagaimana diri kita.

2 Komentar

  1. Balasan
    1. Wah, baru liat ternyata ada yang komen juga. Makasih Angel. Seneng banget gue ternyata ada temen yang baca. Hehe

      Hapus
Lebih baru Lebih lama