Justice for, Keadilan Era Digital




Justice. Mendengar kata tersebut sepintas lalu membuatku mengingat sebagian masa kecilku. Tentang film-film super hero yang selalu berhasil menumpas kejahatan. Selalu saja diceritakan bahwa kekuatan baik akan mengalahkan keburukan. Begitu seterusnya.


Lalu, apakah di kehidupan nyata juga berlaku demikian?

Apakah saat kita berada di suatu keadaan yang sulit, akan datang dengan tiba-tiba seorang penolong dengan topengnya? 

Ataukah saat kita ingin berbuat buruk terhadap orang lain, ada super hero yang menghentikan kita?


Beberapa hari lalu, media sosial dikagetkan dengan kejadian yang menimpa seorang remaja putri yang di-bully oleh teman-temannya. Kejadian tersebut bahkan telah masuk ke ranah hukum. Meskipun pelaku dan korban sama-sama di bawah umur, lantas apakah hukum tidak bisa menjerat para pelaku? Dimanakah keberadaan super hero di saat genting seperti ini?

Tenang. Sang super hero masih ada. Meskipun tidak terlihat dan tidak secara langsung menolong. Petisi yang telah ditandatangani oleh  lebih dari 3 juta orang merupakan bukti nyata kekuatan baik sang super hero. Ia masih bersama kita dan berada dalam hati nurani kita. 

Lantas siapa sang super hero itu?

Ia adalah Internet-Man, dengan kekuatan smartphone miliknya yang menebarkan kekuatan super dengan kedua ibu jarinya. 

Begitu dasyat kekuatannya sehingga berhasil menggerakan hati para netizen bersatu padu melawan sang penjahat. Selebihnya, tinggal kita serahkan kepada aparat hukum yang berwenang untuk menindaklanjutinya. 



ME- ATAU DI- (MANFAATKAN) INTERNET?

Saya ingat, salah seorang guru saya ketika SMA pernah berkata seperti ini "Internet adalah keranjang sampah," Tetapi saya tidak sepenuhnya setuju dengan perkataan tersebut. Mungkin saja, banyak hal 'sampah' yang sehari-harinya kita temukan di internet. Tetapi, banyak juga hal positif lainnya yang bisa kita temukan di internet. Rasanya tidak adil jika mengatakan keseluruhan isi internet adalah keburukan.

Banyak hal baik yang kita bisa konsumsi melalui jaringan internet. Bahkan, banyak orang yang berhasil sukses dengan adanya jaringan internet. Apalagi di era saat ini, sebagian besar orang menggantungkan hidupnya dengan berkarir dan berkarya melalui internet. Semua tergantung bagaimana kita memandangnya, menggunakannya dan memanfaatkannya.

Kuncinya ada pada kata manfaat.Selama kita menggunakan internet untuk hal-hal yang bermanfaat tentu hal tersebut akan melahirkan kebaikan, bagi diri kita maupun orang di sekeliling kita. Namun, tidak jarang juga orang terkecoh dengan kata manfaat tersebut.

Banyak orang yang menganggap bahwa definisi manfaat bagi kita, sama dengan orang lain. Padahal, kenyataannya tidak selalu demikian. Anggaplah, manfaat ini seperti barang yang dibutuhkan oleh konsumen. Tentu, tidak semua mengganggap kebutuhannya sama.

Sebagai contoh, ada orang yang memanfaatkan internet untuk mengonsumsi berita. Sebaliknya, ada orang yang menggunakan internet untuk mengonsumsi hiburan dan hal yang lucu-lucu saja. Masing-masing dari orang tersebut memiliki arti manfaat tersendiri bagi mereka. Tidak berarti, kata manfaat hanya sebatas untuk melabel konten-konten yang mengedukasi saja. 

Arti manfaat yang saya maksud lebih luas dari itu, namun tetap bersifat personal. Tergantung pada selera dan kebutuhan kita masing-masing. Memilih konten apa yang akan masuk ke kepala kita sama halnya dalam memilih makanan yang masuk ke perut kita. Misalnya, kita sama-sama butuh karbohidrat, namun ada yang memilih nasi, ada juga yang lebih memilih kentang. Kalau saya, lebih sering mie instan.

Meskipun makanan yang kita pilih berbeda, tetapi semua makanan tersebut sama-sama menghasilkan energi bagi tubuh kita. Artinya, perbedaan konten yang kita konsumsi semestinya sama-sama melahirkan energi positif bagi kita untuk dibagikan kepada orang lain.

Kita tidak seharusnya, atau bahkan jangan sampai dipecah belah oleh kegaduhan yang beredar di internet. Jangan sampai, kemajuan teknologi malah memanfaatkan kita menjadi budaknya. Seperti yang akhir-akhir ini terjadi di media sosial. Perilaku kita yang terlalu tanggap terhadap hal apapun yang 'dibagikan' di sana membuat kita secara tidak sadar malah melewati batas. Alih-alih ingin menolong korban perisakan, kita malah ikutan menjadi pelaku perisakan dengan ikut merisak sang pelaku.

Saya sendiri bingung dengan orang-orang yang begitu mudahnya berkomentar di media sosial. Tak jarang komentar tersebut dibalas dengan komentar orang lain yang mengomentari komentarnya bukan kontennya, dan akhirnya menimbulkan kericuhan dan berujung intimidasi. Bahkan bisa dikatakan, bullying atau perisakan bisa terjadi begitu cepat di kolom komentar.



ADIL DI KOLOM KOMENTAR

Apakah kita wajib mengomentari sesuatu? Tentu saja tidak.

Lalu kita tidak boleh mengomentarinya? Boleh saja, tetapi pikirkan dulu dengan bijak.

Kan saya komentar karena saya peduli? Justru itu, kalau peduli ya bantu. Bukan sekadar komentar.

Gimana dong kalau saya cuma bisa bantu lewat komentar? Cermati kejadiannya, ambil hal positifnya, berikan support, sebarkan yang baik, ajak orang ikut membantu, jangan provokasi, jangan main hakim sendiri, jangan luapkan emosi apalagi ikutan membully.

Tapi kan, itu hak saya mau komentar apa aja? Selama kamu mengomentari kontennya, itu sah-sah saja karena setiap orang punya sudut pandang dan penilaian masing-masing terhadap sesuatu.

Terus salahnya dimana komentar saya? Salah, ketika kamu mengintervensi komentar orang lain yang 'menurut kamu salah'.

Abis kadang orang lain komentarnya ngeselin sih, masa saya diemin? Nah makanya, kamu juga komentarnya jangan bikin kesel orang dong.

Iya juga sih, kan saya pengen bebas berkomentar masa giliran orang lain berkomentar dia nggak saya kasih kebebasan ya? Nah, itu kamu mulai paham.



ADIL KETIKA 'BERBAGI' (Share)

Apakah berbagi sesuatu itu wajib? Ya, tidak juga.

Lantas apa yang harus kubagikan? Itu terserahmu, jika menurutmu ada hal yang perlu kamu bagikan.

Kenapa sih, orang ini selalu berbagi hal yang tidak penting? Jika kamu tidak suka, tidak perlu ikuti dia.

Ini juga, kenapa dia ngomongin politik melulu? Mungkin bagi dia itu perlu dibagikan.

Tapi kan saya jadi kesel liatnya, kenapa dia suka nampilin kebaikan si A? Memangnya, kamu tidak pernah nampilin kebaikan si B.

Ya kalau itu sih, hak saya dong. Kan akun saya, terserah saya dong? Ya, kalau begitu mau kamu, terserah dia juga dong mau bagikan apa lewat akunnya.

Terus yang salah gimana? Salah, kalau kamu merasa hanya kamu yang boleh bebas membagikan dan atau membicarakan sesuatu, entah itu dengan kata-kata, gambar maupun video. Itu sama saja kamu membatasi hak orang lain untuk berbagi. Padahal kan aturan, undang-undang dan regulasi udah jelas ngasih tau apa yang boleh dan tidak boleh kamu unggah maupun bagikan.

Oh, berarti saya dan dia bebas dong berbagi apa aja? Ya selama tidak melanggar dan keluar dari koridor.

Iya juga sih, kan saya sering share foto kucing saya. Masa dia nggak boleh share foto anjingnya? Nah, itu kamu paham.




ADIL DALAM KONTEN DIGITAL DAN PERANGKAT LUNAK

Nah, ini yang menurut saya berat pemirsa. Saya pribadi belum bisa sepenuhnya menggunakan software yang orisinal alias berbayar. Alih-alih saya masih merasa miskin dan belum punya cukup uang untuk beli sofware yang orisinal. Tentu alasan saya ini tidak perlu ditoleransi seharusnya. Jujur, saya masih banyak sekali menggunakan perangkat lunak bajakan yang diunduh gratis. Tentu saja ini perilaku yang melanggar hukum dan saya tidak membenarkannya.

Menurut saya, masih banyak orang yang tidak aware dengan hal ini. Entah kurang paham atau gimana dengan perangkat lunak yang ia gunakan. Misalnya, pas kita beli komputer jinjing alias laptop ke toko elektronik yang bukan gerai resmi. Sang penjaga toko kadang nawarin kita, mau langsung di-install OS (operating system) atau nggak. Kalau kita kurang cermat atau memang belum paham, OS yang ditanamkan di perangkat kita itu sudah pasti bajakan. Kecuali jika dia menawarkan biaya tambahan untuk membeli OS yang orisinal. Itu baru OS-nya saja, belum lagi serangkaian software yang ada di dalamnya, seperti misalnya office.

Saya ingat, sewaktu SMA guru TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) saya alias guru komputer pernah jelasin tentang perangkat lunak yang gratis dan berbayar. Selama kita menggunakan perangkat lunak gratis yang legal, artinya sah-sah saja karena perangkat lunak itu memang dibuat gratis untuk massal. Namun jika perangkat lunak itu berbayar, artinya ada orang yang dengan sengaja membajaknya dan membagikannya di situs-situs tertentu demi meraup keuntungan pribadi. Singkatnya, itu ilegal.

Ini ibarat kalau kita baru saja dijelaskan oleh guru agama kita, tentang mana yang halal, makruh dan haram. Pas kita sudah tau, tentu akan merasa berdosa. Ini yang selama ini saya rasakan ketika menggunakan software bajakan. Kurang lebih, ya merasa berdosa karena tidak jujur. Niat tobat dengan barang bajakan sudah sejak lama, berharap semesta mendukung. Semoga Anda setelah membaca ini merasa berdosa juga ya, he he.


***

Tidak sampai di perangkat lunak saja ternyata, masih banyak hal lain yang perlu kita waspadai, kurangi secara perlahan dan niatkan untuk berhenti. Seperti misalnya, mengunduh ataupun mengakses film melalui situs-situs ilegal. Ini juga yang masih saya lakukan, meskipun pelan-pelan mulai kurangi dengan cara mengakses situs streaming film yang resmi dan berbayar. Entah kenapa, ngeluarin uang untuk hal-hal semacam ini memang berat. Padahal, sudah jelas ini berdampak pada penjualan tiket bioskop maupun versi DVD filmya.

Buat yang hobinya nonton film (kayak saya), menghilangkan kebiasaan ini lumayan berat. Ibaratnya kalau sehari tidak menonton film itu rasanya seperti ada yang kurang. Untungnya layanan film berbayar sekarang semakin banyak, dan harganya juga cukup terjangkau. Pelan-pelan kita semua bisa hijrah untuk tidak lagi menonton film bajakan. 

Selain film, dampak yang sama juga dirasakan oleh industri musik. Beberapa bulan lalu kita sempat diramaikan oleh KNTL RUUP (Koalisi Nasional Tolak Rancangan Undang-Undang Permusikan). Banyak yang ikut mendukung untuk menolak RUU tersebut. Saya termasuk orang yang ikut menolak. Meskipun saya pun malu, karena terkadang masih suka mengunduh lagu-lagu bajakan, khususnya OST film-film anime.

Tetapi, kebiasaan mengunduh lagu bajakan sebenarnya sudah lama sekali saya tinggalkan. Semenjak saya tau bahwa hal tersebut sangat merugikan musisi dan industri musik. Apalagi dengan adanya platform YouTube, kita juga bisa menikmati musik secara gratis dengan ikut menguntungkan musisi ataupun label rekamannya. Ditambah, beberapa band indie yang saya ketahui juga membagikan musiknya secara gratis dengan cara mengunduh di situs resmi band tersebut. Hal ini juga upaya mereka dalam memerangi pembajakan.

Namun, celah pembajakan dalam dunia permusikan selalu ada. Bahkan aplikasi sekelas Joox dan Spotify pun ikut kena batunya. Pilihannya sebenarnya di tangan kita, mau tetap menggonsumsi musik bajakan atau tidak?


***

Terakhir yang akan menjadi pembahasan saya kali ini, adalah konten. Ya, konten. Karya digital yang belakangan ini kerap menjadi pelampiasan pembajak. Entah karena tidak tau, pura-pura lupa atau memang sengaja. 

Mulai dari hal kecil, seperti misalnya mencantumkan source dimana kita mengambil 'barang' tersebut. Misalnya pas kita liat ada video yang bagus, lucu, atau apalah sampai akhirnya kita ingin unggah ulang melalui akun media sosial kita. Tetapi, kita lupa untuk memberi tau orang dari mana video itu awalnya berasal, alias itu punya siapa.

Mungkin kita tidak sadar melakukannya, dan niat kita juga sekadar ingin membagikan video itu saja. Tetapi orang lain yang melihatnya mengira itu karya kita. Akhirnya timbul kericuhan, saling tuduh dan lain sebagainya. 

Lebih mengherankan lagi buat saya, para kreator konten yang memang sengaja membuat konten dengan bahan hasil comot dari karya orang lain dengan tujuan ingin meraup keutungan semata. Ini ironis sekali.

Belakangan juga sempat ramai perbincangan tentang aplikasi Pinterest yang juga menjadi tempat bagi para pelaku pembajakan. Motifnya adalah, mencari gambar maupun desain yang bagus kemudian dicetak ke medium tertentu dan dijual. Bahkan tanpa izin dan sepengetahuan senimannya. Ini seharusnya sudah masuk ke ranah hukum karena menyangkut Hak Atas Kekayaan Intelektual.

Source itu sangat penting, dalam keseharian kita mengunggah konten. Malah, semestinya kita izin terlebih dahulu kepada pembuat konten tersebut jika kita ingin mengunggahnya kembali melalui akun kita, etikanya sih seperti itu. Kenyataannya, konten meme terkenal dari 9gag pun sering menjadi korban re-uploader oleh pihak tak bertanggung jawab yang tak mencantumkan sumber dan ingin viral ataupun untung semata.

Belum lagi, foto-foto tanpa sumber dan nama fotografernya. Kutipan naskah maupun penggalan kata-kata milik seseorang. Bahkan yang baru-baru ini sempat menghebohkan juga, ada akun Instagram yang mengunggah ulang tweet dari Selebtweet yang dianggap bagus. Lagi-lagi, si pelaku tidak mencantumkan sumber dan membohongi orang lain seolah-olah itu semua merupakan karyanya. Apakah kita memang sedang mengalami krisis kejujuran kreator konten?



KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH WARGANET


Berlaku adil ternyata 'tidak hanya' perlu diterapkan di kehidupan sosial dalam dunia nyata saja, tetapi juga perlu diaplikasikan dalam dunia maya. Apalagi, jika kita lebih banyak menggunakan jaringan internet dan media sosial untuk berinteraksi dengan orang lain. Perlu sikap adil, terhadap sesama warganet.

Keadilan bahkan tidak hanya diterapkan melalui sikap kita, tetapi juga dengan menerapkan hukum yang berlaku di dalamnya. Jika dalam kehidupan bermasyarakat, kita sangat mendorong ekonomi yang makmur, adil dan sejahtera, maka sudah sepatutnya kita juga memberlakukan hal tersebut dalam dunia maya.

Tidak perlu kita berteriak ramai-ramai untuk menghentikan pembajakan. Langkah mudahnya ialah kita jangan menjadi konsumennya. Apalagi, sampai menjadi pelakunya. Dengan hilangnya pembajakan, kesejahteraan warganet dan kreator konten yang jujur dan amanah akan semakin terjamin. Itu kemudian yang akan mewujudkan perekonomian dalam dunia maya menjadi lebih maju.

Tak kalah penting, mengetahui etika, tata cara dan norma dalam bermedia sosial juga layak untuk diketahui. Ibarat kata pepatah, malu bertanya Google menjawab. Kalau kita belum tau tentang aturan-aturan tertentu, biar tidak salah sebaiknya googling dulu. Daripada nanti kena bully oleh warganet, ya kan.



**

Sebagai penutup, saya sesama warganet yang masih belajar sadar betul bahwa saya pun masih belum berlaku adil dalam menerapkan hukum di dunia digital. Saya juga masih dalam proses mengurangi konsumsi barang ilegal terutama software dan film. Untuk itu, tidak ada salahnya jika kita sama-sama secara perlahan (namun pasti) bertaubat dengan ketidakadilan yang kita lakukan di internet, tempat kita sehari-harinya menghabiskan waktu. 

Kalau sebagai warga negara yang baik kita sehari-harinya mendukung penggunaan barang orisinal dan anti terhadap pembajakan, maka sudah sepatutnya hal itu berlaku saat kita menjadi warganet. 


Mari berlaku adil, dimanapun kita berada. Salam, justice!

1 Komentar

  1. memanfaatkan internet atau dimanfaatkan internet? woww such good explanation!! 👏👌👍

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama