Menjadi Jurnalis dalam 'Tempo' yang Sesingkat-singkatnya

Ruang Rapat Majelis Kehormatan Dewan
Cerita ini sengaja saya rapihkan kembali, agar terasa lebih "Enak Dibaca dan Perlu" seperti slogan majalah TEMPO.

Sesuai dengan judulnya, artikel ini merupakan pengalaman singkat saya ketika menjadi wartawan magang di TEMPO. 

Kurang lebih, selama tiga bulan.


Kuliah Kerja Lapangan

Istilah Kuliah Kerja Lapangan (KKL) yang melekat dengan (kampus tercinta) IISIP Jakarta, bukanlah merupakan istilah yang baru-baru saja terdengar belakangan. 

Mulai dari mahasiswa yang baru menginjak semester satu hingga alumni kampus yang telah melanglang buana di media, kenal dengan istilah ini.

KKL seolah bagaikan "sandi khusus" bagi mahasiswa IISIP yang sedang menjalani proses magang di instansi maupun media. 

Dengan menyebut istilah tersebut, seketika terbayang beban seorang mahasiswa yang sedang membagi waktunya antara belajar dan bekerja.

Berbeda dengan kebanyakan kampus lainnya, KKL IISIP Jakarta dijalankan bersamaan dengan aktivitas kuliah seperti biasanya, bukan di saat libur semester. 

Mahasiswa mau tak mau mesti bisa membagi waktunya antara kuliah dan magang.

Tak sedikit juga beberapa mata kuliah lain ikut jadi korbannya.

Berawal dari KKL inilah, saya yang saat itu sedang bingung memilih media mana yang akan dituju untuk menjadi tempat magang, tiba-tiba teringat nama TEMPO. 

Jujur, saat itu saya bahkan belum pernah membaca majalah tersebut.

Hanya saja, saya sering kali mendengar namanya disebut-sebut, entah itu oleh sesama teman mahasiswa maupun dosen. 

Bahkan, ketika itu stereotip saya terhadap TEMPO ialah majalah untuk orang tua.

Tetapi, ibarat berjodoh akhirnya saya diterima menjadi reporter magang tak lama setelah saya mengirim surat elektronik kepada TEMPO. 

Ketika itu sebenarnya, beberapa teman saya menyarankan untuk magang di stasiun televisi. Tapi entah kenapa, rasanya saya agak kurang sreg.

Boleh dibilang, waktu itu saya lebih menyukai media cetak. Rasanya seolah lebih menantang buat saya. 

Apalagi, dasarnya saya memang senang menulis.

Tanpa bermodal kenalan siapa-siapa, saya akhirnya mencoba melakukan riset kecil-kecilan dengan mengunjungi situs berita Tempo.co meskipun hasilnya ternyata nihil. 

Di sana, saya tidak menemukan tautan halaman yang berisi tentang program magang.

Tak puas sampai di situ, saya pun blogwalking ke beberapa situs lama TEMPO.

Di sanalah saya kemudian menemukan beberapa artikel tentang karir dan magang hingga berujung pada sebuah alamat surel lama yakni, pelatihan@tempo.co.id.

 

Palmerah Barat No.8

Setelah mendapat surel balasan dari bagian pengelola SDM, berangkatlah saya menuju Gedung Tempo yang berada di Jalan Palmerah Barat No.8, Jakarta Barat. 

Lagi-lagi itu merupakan pertama kalinya saya melihat dan mendatangi "kantor baru" TEMPO itu.

Tidak sulit rasanya bagi saya menemukan Gedung Tempo. Selain tentunya berkat bantuan Google Maps, bangunan itu juga terlihat mencolok dari kejauhan berkat corak merah-putihnya. 

Waktu itu, kondisinya masih belum sepenuhnya rampung, kira-kira mungkin sekitar 85 persen.

Tetapi tak bisa dimungkiri bahwa ada perasaan senang ketika saya memarkir motor di sana kemudian menaiki lift untuk menuju ke lantai 5.

Berbekal membawa proposal sebagaimana yang telah diperintahkan sebelumnya, saya menjelaskan tentang maksud dan tujuan saya mengikuti program magang.

Singkatnya, saya pun diterima dan kata-kata yang paling saya ingat usai penerimaan tersebut ialah, "Kamu tidak digaji."

 
 
 

Hari pertama

Biasanya dalam sebuah cerita, hari pertama menjadi momen yang sangat diingat atau tidak bisa dilupakan.

Hari itu tepatnya 5 Oktober 2015, saya pertama kali memperkenalkan diri di hadapan para redaktur TEMPO.

Setelah memperkenalkan diri, dua orang redaktur kemudian ditunjuk sebagai penanggung jawab saya selama magang. 

Satu Redaktur Pelaksana yang dan satu lagi Redaktur Rubrik Nasional.

Redaktur Pelaksana bertanggung jawab atas program magang yang sedang saya tempuh.

Sedangkan Redaktur Rubrik Nasional, memantau tulisan saya sekaligus memberi arahan tugas peliputan saya.
 
Tugas pertama saya hari itu ialah mengutip berita internasional dari media asing serta menerjemahkannya.

Bagi saya, tugas pertama itu lumayan berat mengingat kemampuan menulis bahasa Inggris saya belum cukup baik.

Tetapi akhirnya hari itu berjalan dengan baik.


Hari-hari berikutnya

Sehari setelahnya, saya kemudian ditugaskan untuk mendatangi Gedung MPR dan DPR RI, mengingat karena saya ditempatkan pada desk Nasional. 

Berangkatlah saya menuju Kompleks Parlemen yang letaknya tak jauh dari Palmerah itu.

Tanpa banyak bertanya, saya pun tiba di depan gerbang utama yang letaknya berada di Jalan Jenderal Gatot Subroto. 

Keputusan untuk tidak bertanya itu membuat saya ditolak mentah-mentah oleh petugas atau Pamdal (Pengamanan Dalam) yang berjaga di depan gerbang. 

Jelas, gerbang itu kan memang diperuntukan bagi anggota dewan maupun tamu-tamu penting saja.

Akhirnya saya pun menghubungi salah satu reporter TEMPO yang sedang berada di sana. Menurut penugasan, nantinya dia yang akan membimbing saya.

Setelah menelpon, saya akhirnya mencoba kembali masuk melalui pintu belakang yang terletak di Jalan Gelora, persis di depan Lapangan Tembak Senayan. 

Saya baru tahu kalau ternyata di situlah akses masuk bagi wartawan yang ingin masuk ke Kompleks Parlemen.

Kalau boleh jujur, pengetahuan politik saya saat itu benar-benar payah. 

Saya tidak tahu harus melakukan apa selama di sana. Saat itu di kepala saya hanya terlintas dua hal, yakni bertanya dan googling.

Dua hal itu setidaknya berhasil mengurangi rasa cemas saya. 

Berbekal dengan bertanya kepada senior, saya akhirnya sedikit paham bagaimana mencari bahan berita di sana.

Kurang lebih, berita lebih banyak didapat melalui pernyataan dari anggota dewan. 

Pernyataan tersebut bisa diperoleh dari wawancara, bisa juga dengan doorstop.

Selain itu, bahan berita juga bisa didapat dengan mengikuti rapat-rapat yang sedang berlangsung di sana. 

Atau bisa juga standby di press room yang tersedia di sana.

Tak hanya mempelajari bagaimana mencari bahan berita, saya juga dituntut untuk lebih tahu soal isu-isu serta perkembangan politik yang sedang hangat. 

Hal ini menjadi sangat penting, karena dengan background informasi tersebut wartawan kemudian dapat menanyakan kelanjutannya serta tanggapan anggota dewan.



Tak ada ID, surat pun jadi

Selama magang di TEMPO, saya tidak diberikan ID Card atau tanda pengenal PERS. 

Kira-kira begitulah kebijakan yang diberlakukan di sana bagi wartawan magang. 

Tetapi saya tidak berkecil hati.

Meskipun tidak dibekali "Kartu Sakti" tersebut, saya masih bisa liputan ke sana-sini dengan surat tugas resmi dari TEMPO. 

Surat itulah yang menjadi teman setia saya selama magang dan selalu saya bawa ketika liputan.



Surat tugas dari TEMPO.


Bulan berikutnya

Setelah kurang lebih sebulan saya ngepos di DPR, akhirnya saya mendapat tugas baru yakni meliput berita-berita hukum. 

Saya ditugaskan untuk mengunjungi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Dua tempat itu mengenalkan saya dengan istilah, "landai" dan "geser" yakni istilah yang kerap digunakan oleh wartawan saat ketersediaan bahan berita cenderung sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali dan akhirnya wartawan pun berpindah ke tempat lain.

Pengalaman yang tak kalah menarik bagi saya saat bertugas di KPK ialah kekompakan para wartawan di sana yang memberi kesan mereka sangat kenal dekat satu sama lain. 

Hal yang juga mengejutkan saya, kadang wartawan di sana berjaga hingga larut malam, terutama saat ada tersangka yang baru ditangkap oleh KPK.

Saat itu biasanya, puluhan pewarta foto telah bersiap di depan pintu Gedung KPK menanti tersangka yang akan keluar mengenakan rompi oranye dan dibawa masuk ke dalam mobil. 

Selain itu, telah bersiap pula reporter beserta camera person dari televisi yang hendak melakukan live report.

Saya pun beserta wartawan media cetak lain dan online tentunya tidak juga mau kalah. 

Kami juga ikut berjaga-jaga saling berhimpitan di anak tangga gedung tersebut sambil menyiapkan recorder maupun ponsel untuk merekam apapun yang nantinya dikatakan oleh tersangka koruptor tersebut.

Lain halnya dengan KPK, liputan di Pengadilan Tipikor cenderung lebih santai dan malah terkesan membosankan. 

Para awak media biasanya standby di dalam ruangan sidang, sambil mengikuti jalannya persidangan.

Tetapi justru dengan suasana yang agak santai ini, kita dituntut lebih jeli terutama saat pembacaan dakwaan sedang berlangsung. 

Selain itu, kita juga jangan sampai melewatkan momentum saat sidang akan segera berakhir yakni ketika sedang diputuskan oleh Majelis Hakim.

Dua hal yang serupa tapi tak sama, kira-kira begitulah gambaran saat meliput di KPK dan Pengadilan Tipikor. 

Dua-duanya berkaitan dengan hukum, tetapi suasana ketegangan dan cara kerjanya berbeda.


Back up agenda

Selain meliput rubrik Nasional dan Hukum, saya juga sempat beberapa kali meliput demo. 

Meskipun demo tersebut tak sebesar demo-demo mahasiswa yang belakangan terjadi, namun hal itu menjadi sebuah pengalaman menarik buat saya.

Sebagai jurnalis magang, saya diibaratkan seperti pemain bola yang duduk di bangku cadangan. Harus siap kalau tiba-tiba dibutuhkan untuk bertanding.

Istilah back up kerap digunakan oleh redaktur untuk menugaskan wartawan agar mengisi kekosongan di lini-lini tertentu ataupun tempat yang sedang ramai isunya, menjaga-jaga agar tidak kecolongan. 

Lagi-lagi peran redaktur di sini ibarat pelatih sepak bola yang bisa melihat kondisi lapangan.

Mulai dari konferensi pers yang berisi isu-isu ringan, hingga yang agak berat ikut saya jajal. 

Biasanya, saya akan kelimpungan kalau ditugaskan mem-back up isu-isu yang berkaitan dengan ekonomi.

Wartawan ekonomi menurut saya bisa dibilang cukup spesialis. Biasanya wartawan yang dipilih untuk memegang rubrik ekonomi ialah mereka yang memang lulusan Ilmu Ekonomi. 

Paling tidak kalaupun wartawan baru dan tidak berlatar belakang Ilmu Ekonomi, perlu pembekalan khusus serta banyak belajar dari para senior.

Selain agenda ekonomi, saya juga sempat merasakan liputan Metro atau perkotaan dan berita-berita kriminal meskipun porsinya terbilang sedikit. 

Seingat saya, hanya dua tempat yang sempat saya kunjungi ketika liputan Metro yakni, Polres Jakarta Pusat dan Polsek Tebet.


Menyenangkan serta mengenyangkan

Tak luput pula, saya ikut mengisi agenda-agenda yang sifatnya sekadar launching program serta berbau promosi. 

Biasanya, agenda-agenda seperti ini cenderung menyenangkan juga mengenyangkan.

Selain wartawan yang datang biasanya dijamu dengan hidangan, pulangnya kami juga kerap dibekali bingkisan semacam goodie bag

Bingkisan tersebut umumnya terdiri dari press rilis (siaran pers), buku catatan, bolpoin, flash disk, atau souvenir lainnya tergantung dari acara dan pihak penyelenggaranya.

Tak jarang, dalam bingkisan tersebut terselip sebuah amplop berisi uang atau yang juga dikenal dengan istilah "jale". 

Istilah jale sangat familiar di kalangan jurnalis, tetapi terkadang masih tabu kalau secara gamblang disebut.

Layaknya Lord Voldemort, berbagai sebutan lain tentang jale pun bermunculan agar tidak terlalu vulgar jika didengar. 

Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pandangan dari kalangan wartawan maupun perusahaan pers mengenai jale itu sendiri.

Ada yang setuju-setuju saja dengan jale, tetapi ada juga yang menolak dengan keras. 

Bahkan, sempat saya dengar ada pula segelintir yang malah mengejar dan mencarinya. 

Perbedaan cara pandang ini bukan tanpa dasar, melainkan mengacu pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang keberadaannya lebih dari satu.

Selama saya magang, setau saya sikap TEMPO terhadap hal tersebut ialah menolak keras adanya imbalan (dari pihak manapun) yang diberikan kepada wartawan. 

Kalaupun yang boleh diterima, biasanya souvenir yang ringan-ringan saja dan bukan berbentuk uang. 

Itu pun dalam tanda kutip, souvenir tersebut memang diberikan kepada semua media yang datang meliput atau siapapun yang hadir, bukan hanya pihak tertentu saja. 

Biasanya amplop yang tidak sengaja diterima akan dipulangkan kembali oleh pihak kantor TEMPO.

Dengan adanya kebijakan tersebut, saya tentu mengikuti dan menaatinya atau dengan kata lain, saya tidak pernah menerima imbalan dari pihak manapun. 

Selain menjaga nama baik TEMPO, saya pun menyadari bahwa sebagian besar pihak yang memberikan imbalan tersebut biasanya mempunyai maksud agar berita atau artikelnya dinaikkan.



BONUS:

Q: Moment paling seru selama KKL?

A: Waktu lagi nunggu hasil putusan MKD (Majelis Kehormatan Dewan) terkait peristiwa mundurnya Setya Novanto dari jabatan ketua DPR (tahun 2015). 

Itu gedung DPR biarpun malam, tapi rame banget. Banyak kamera di mana-mana udah pada stand by

Ditambah mengagetkan dengan kedatangan Najwa Shihab memakai seragam Metro TV live report di sana.



Q: Moment paling absurd dan nggak bisa dilupain selama liputan?

A: Waktu itu lagi di acara Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) 2015


Kiri ke kanan (Saya, Arme, Bagus)

Selesai acara itu, kita pada doorstop pak Basuki a.k.a Ahok (karena dia diundang, sebagai mantan penerima BHACA).

Tapi karena dia waktu itu dikawal, akhirnya nggak ada yang dapet doorstop-nya.

Posisinya dia mau turun eskalator, dan saya kebetulan lolos, akhirnya turun di tangga eskalator bareng dia berdua sambil dilihatin dari atas sama para awak media yang nggak dapat statement-nya dia.

Di situ saya merasa sedang wawancara eksklusif sama pak BTP, karena cuma berdua doang.

Ya, kikuk juga sih nanyain apa. Alhasil, nanya-nanya seadanya aja he he..


Poster KKL yang wajib dibuat.


Berhubung foto-foto lainnya sebagian besar terhapus karena memory card ponsel saya yang rusak, jadi cuma segitu aja yang bisa dibagikan. 

Semoga cerita ini bisa menjadi rujukan bagi mahasiswa Jurnalistik yang mau magang di media.

Akhir kata,

"Dimana media dipijak, di situ kode etik dijunjung."

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama