Lembaran kertas berserakan menghiasi ruang tidur. Sebagian darinya merupakan potongan skripsi yang tak layak dihadirkan ke hadapan dosen pembimbing. Entah karena, ada salah penulisan kata di dalamnya, atau memang karena isinya terlalu buruk, hingga tak berani disuguhkan. Kini lembaran itu penuh dengan coretan. Ya, luapan kegelisahan.
Beberapa waktu lalu, saya sempat berdiskusi dengan teman semasa SMA. Saya bertanya kepada mereka, apakah mereka juga merasakan keresahan yang sama. Atau jangan-jangan, ini hanya kekhawatiran saya saja.
Saya mulai berceloteh di hadapan mereka. Seperti biasa, menghadirkan topik pembahasan yang tak kalah serunya, meskipun nampak di wajah mereka diskusi tersebut juga tak kalah membingungkannya. Dalam diam, saya merasa berhasil telah membuat mereka kembali berada dalam kebingungan.
***
Sewaktu SMA, seorang guru pernah memanggil saya "Si orang bingung". Sebuah panggilan yang juga ikut membingungkan saya, tentunya. Ternyata panggilan itu, menurutnya bukan tak mendasar, melainkan karena pertanyaan-demi-pertanyaan yang saya lontarkan sewaktu di kelas suka membuat orang lain bingung dan membuat saya sendiri yang mempertanyakannya juga kelihatan bingung.
Saya teruskan kembali obrolan dengan teman, yang nampaknya semakin menggiring mereka pada pintu pemikiran saya. Saat pintu tersebut mulai terbuka, saya menyambut mereka dengan beberapa buah pertanyaan:
Pernah kepikiran ngga sih, kenapa kita harus belajar?
Kenapa kita harus sekolah tinggi kalau nantinya malah jadi dosen?
Emang nantinya ilmu yang kita pelajarin mau dibawa ke mana?
Pertanyaan tersebut sejujurnya merupakan kekhawatiran. Khawatir bahwa setelah melewati masa kuliah yang hampir 7 tahun ini, saya tak membawa bekal apa-apa. Kuharap kalian tidak terkejut melihat angka tersebut. Ya, saya tidak salah menulisnya. Memang hampir selama itu saya menghabiskan waktu di bangku kuliah.
Selain merasa khawatir, saya juga merasa bahwa apa yang telah saya pelajari saat kuliah tak bisa dilihat oleh orang lain. Ya, belajar komunikasi memang tak seperti les sempoa. Saya merasa tak ada bedanya dengan orang lain. "Bukankah sejak kecil kita sudah bisa berbicara, lantas apa bedanya?," pikir saya.
MENCARI DAN MENEMUKAN
Saya tak sempat bertanya mengapa waktu kecil orang tua selalu menyuruh anaknya untuk bersekolah. Seingat saya, saya sempat merasa takut pergi ke sana. Rasa takut tersebut membuat saya menjadi murid yang lebih banyak diam dan mendengarkan ucapan guru. Anehnya, wali kelas saya malah meminta agar saya yang menjadi ketua kelasnya.Hingga akhirnya dengan bersekolah, saya mulai bisa membaca. Itulah awal dari masuknya berbagai hal asing ke dalam kepala saya. Semakin banyak yang masuk, maka semakin banyak pula timbul pertanyaan. Satu persatu mulai terjawab kenapa ini bisa begitu, mengapa itu bisa begini.
Namun, rasa penasaran dengan hal-hal baru itu tak pernah dipertanyakan, kenapa saya harus mengetahuinya. Yang jelas, saat itu saya jadi tahu bahwa bukan karena ada ular naga yang bergerak, bumi ini jadi terguncang.
Dulu saya sangat tertarik dengan Ilmu Pengetahuan Alam. Kekaguman saya bermula ketika melihat penggaris yang bisa menarik potongan-potongan kertas. Saya juga kagum dengan telur yang bisa mengapung di air. Kekaguman lainnya, ketika saya mengetahui dari mana asalnya air hujan yang turun.
Satu persatu kekaguman dengan alam semesta semakin membawa saya pada jurusan di SMA. Saat itu, saya memilih masuk ke jurusan IPA. Saya mulai mempelajari unsur terkecil dari sebuah zat kimia atau yang dikenal dengan istilah atom. Saya mulai melihat seperti apa bentuk sel, atau bagian terkecil dari mahluk hidup. Saya mulai mengenal dimensi, dan menyadari kalau ternyata selama ini kita hanya berada pada dimensi ketiga. Meskipun ada dimensi lain yang tak kasat mata.
Setelah masa SMA itu berakhir, kenyataan akan pentingnya kehidupan sosial mulai terlihat. Saya yang selama ini hanya terfokus pada pengetahuan alam saja mulai nampak kebingungan menghadapi realita. Kehidupan bermasyarakat yang ternyata masih sangat asing, mau-tak-mau harus siap dihadapi.
Saat itu yang terpikirkan, saya masih ingin belajar. Saya masih ingin mengetahui hal-hal lain yang belum saya ketahui. Saya masih belum merasa cukup.
**
Kenyataan berkata lain. Kakak saya mulai memberi tahu contoh dokumen "Daftar Riwayat Hidup". Saya tak bisa mengelak, orang tua saya tak punya cukup biaya untuk melanjutkan pendidikan saya. Saya harus bekerja.
Saya mulai masuk ke dunia yang saat itu terasa begitu asing. Saya tak lagi diperlakukan layaknya murid yang harus dibimbing oleh sang guru. Saya mulai dituntut untuk memiliki inisiatif sendiri dalam menyikapi persoalan dan mengatasi masalah yang ada.
Seru dan melelahkan, begitu pikir saya. Betapa senangnya ketika pertama kalinya merasakan ada pihak yang membayar hasil pekerjaan kita. Saat itu pula saya mulai menyadari, ada kesamaan antara pekerjaan dan sekolah. Sama-sama mencari dan menemukan ilmu.
Di bayangan saya sebelumnya, bekerja adalah proses mencari dan mendapatkan uang. Sederhananya, alasan manusia bekerja karena mereka ingin digaji. Ternyata saya salah. Tidak sesempit itu. Pekerjaan juga seperti sekolah. Mengajarkan kita berbagai hal baru yang belum kita ketahui sebelumnya.
Bahkan, bekerja tidak hanya menambah ilmu kita tetapi juga membuat kita mengaplikasikan ilmu yang telah kita pelajari. Meskipun di sana, tak ada guru yang mendampingi. Dalam dunia kerja terdapat istilah guru terbaik adalah pengalaman. Pengalaman lah yang akan mengajarkan kita, untuk menjadi lebih baik lagi.
Sejak saat itu, saya perlahan mulai menyadari beberapa hal. Pertama, mencari ilmu esensinya bukanlah kegiatan yang dapat dilakukan di sekolah atau kampus saja. Semuanya tergantung bagaimana cara kita dalam memandang sebuah pekerjaan.
Kedua, mencari ilmu semestinya juga tak mengenal usia. Banyak cara maupun upaya yang bisa dilakukan, selagi kita mau berusaha. Melalui buku dan literasi yang bisa kita baca, berbagai hal baru akan masuk ke kepala kita.
Bahkan dengan kehadiran internet, semestinya tak ada lagi alasan untuk kesulitan dalam mencari dan menemukan hal baru untuk diketahui.
INVESTASI SEKALIGUS WARISAN
Jika awalnya kita memerlukan sejumlah biaya yang dikeluarkan untuk belajar dan sekolah, pada akhirnya setelah kita memahami dan menguasai ilmu, kita akan menghasilkan uang dari hasil penggunaan dan pemanfaatan ilmu tersebut.Sebagai contoh sederhana, dulu ibu saya pernah mengikuti kursus menjahit. Di tempat kursus tersebut, ia mempelajari ilmu tata busana. Mulai dari mengukur badan seseorang, menggambar pola dan menjahit pakaian. Tentu saja, ada biaya yang perlu dikeluarkan dan waktu yang dikorbankan. Namun, ibu saya mau melakukannya karena sejak muda ia memang menyukai jahit-menjahit.
Singkatnya setelah ia 'lulus' dari tempat kursus menjahit atau yang dikenal dengan Juliana Jaya, beliau mulai membeli mesin jahit sendiri dan menerapkan ilmu yang telah dipelajarinya. Hingga akhirnya, ia mulai mencoba dengan membuat baju sendiri.
Satu persatu tetangga saya menyadari bahwa, ibu saya bisa menjahit pakaian. Sejak saat itu, mulai berdatangan orang-orang yang meminta bantuan ibu saya. Beliau tidak pernah mematok harga atas jasa jahitannya, biasanya semua ia serahkan pada orang yang ingin memberinya. Karena memang awalnya, ia ingin menjahit sebagai hobi saja.
Ia bahkan pernah menjahit di konveksi, ditawarkan oleh temannya semasa kursus. Saya saat itu bisa melihat dan merasakan banyak yang telah dihasilkan oleh beliau melalui kemampuan menjahitnya. Apalagi saat bulan puasa, biasanya dulu ia akan 'kebanjiran' orderan.
Dari situ saya melihat bahwa, ilmu yang kita miliki tidak hanya bermanfaat bagi kita, tetapi juga untuk orang lain. Apa yang telah kita keluarkan dan korbankan saat mencari ilmu akan terbayar nantinya, bahkan akan menghasilkan lebih dari yang sudah kita keluarkan. Semua kembali lagi, bagaimana kita memanfaatkannya.
Hal itu pula yang pernah saya alami. Karena itu, saya percaya dalam hidup ini investasi terbaik yang perlu kita lakukan adalah belajar. Dan warisan terbaik yang harus kita berikan kepada anak dan cucu kita adalah ilmu yang bermanfaat.
REFLEKSI ENERGI TERBARUKAN
Kita mengenal salah satu jenis energi yang berasal dari proses alam yang berkelanjutan. Istilah 'terbarukan' sendiri muncul karena energi tersebut dapat diperbarui kembali sehingga dalam jangka waktu yang sangat panjang tidak perlu khawatir akan kehabisan sumbernya.Begitulah wujud sebuah ilmu yang saya lihat. Ia nampak seperti sebuah energi yang tak ada habisnya. Belum lagi ditambah dengan bermunculannya cabang ilmu-ilmu baru, mengikuti perkembangan zaman dan kemajuan teknologi.
Melalui serangkaian proses belajar dan mengajar, ilmu menjadi sebuah energi postif yang tak ada habisnya. Awalnya kita belajar dari orang lain, kemudian kita yang mengajarkan orang lain, dari orang lain tersebut diajarkan ke orang lainnya lagi.
Saya jadi teringat dengan ibunya teman saya. Beliau merupakan orang yang hobi memasak. Masakannya tak jarang membuat saya kagum dengan rasa yang dihasilkannya. Saya selalu menganggap bahwa kemampuan memasak adalah sebuah anugerah dari Tuhan, karena masakan yang enak bisa membuat orang lain yang memakannya bahagia.
Tetapi kemampuan tersebut menurutnya bukan bakat alami. Ia pernah bercerita bahwa dulu ia sewaktu ia muda, ia sama sekali tak bisa masak. Karena keinginan kerasnya untuk belajar memasak serta tidak mengenal putus asa, akhirnya ia berhasil menguasai kemampuan tersebut. Bahkan kini, ia telah banyak menghasilkan berbagai produk yang bisa dipasarkan.
Tak hanya berbuah uang, berbagai pujian serta kekaguman dari orang lain sampai kepadanya. Dari situlah saya melihat bahwa esensi sebuah ilmu dan kemampuan yang kita manfaatkan tidak hanya menghasilkan uang buat kita, tetapi juga dapat membahagiakan orang lain ketika kita berhasil memberikan kepuasan dan manfaat pada mereka.
Saya sempat bertanya seperti ini pada beliau,
"Kenapa tante nggak buka kelas masak aja? Siapa tau kan ada yang berminat,"
Dari situ inspirasi saya malah semakin bertambah. Dengan kemampuan memasaknya, menurut saya, ia bisa saja membuka kursus atau sekolah memasak. Atau bisa juga menulis buku tentang kiat-kiat memasak serta resep-resep yang telah ia uji coba.
Banyak sekali yang bisa dicoba, apalagi dengan bantuan internet saat ini. Dengan ilmu yang telah kita pelajari dan kemampuan yang kita miliki, kita tak harus mengajarkan orang lain secara langsung atau tatap muka. Kita bisa menulisnya dalam sebuah artikel di blog. Kita juga bisa membuat video tutorial atau mungkin dengan cara lain, yang belum terpikirkan sebelumnya.
Pilihannya ada di tangan kita, mau kita ke manakan ilmu yang telah kita pelajari selama ini. Apakah ia akan berhenti berlabuh, atau terus menerus menerus mengarungi dunia ini.