Aku ingin menulis. Siang ini, detik ini juga. Aku tidak ingin berpikir apa-apa.
Aku hanya ingin menumpahkan semuanya. Semua yang tersimpan di kepala. Semua yang terselip di hati.
Semua yang mengganjal di dada. Seraya berharap mendapat ketenangan seperti sedia kala.
Aku bahkan berharap tidak akan ada seorang pun yang membaca ini. Menurutku ini akan jadi tulisan terburukku.
Aku bahkan berharap tidak akan ada seorang pun yang membaca ini. Menurutku ini akan jadi tulisan terburukku.
Aku berniat tidak akan membagikannya di linimasa twitterku seperti sebelumnya.
Sengaja memang aku tulis di sini, agar suatu saat dapat aku baca kembali. Ya, suatu saat nanti.
Aku sebelumnya tidak pernah sekecewa ini, terhadap diriku. Aku senantiasa berpikir positif dengan semua yang terjadi.
Aku sebelumnya tidak pernah sekecewa ini, terhadap diriku. Aku senantiasa berpikir positif dengan semua yang terjadi.
Tapi kali ini, aku tak dapat membendungnya. Aku rasa mungkin inilah titiknya.
Puncak di mana aku merasa tak kuat lagi.
Bukan karena ingin berhenti berjuang, tetapi aku benar-benar kehilangan rasa percaya diriku.
Aku sangat malu. Malu pada kata-kataku sendiri.
Aku sangat malu. Malu pada kata-kataku sendiri.
Malu karena tak pernah berhasil menepatinya. Malu akan semua janji yang tak kian terpenuhi.
Malu atas konsistensi yang tak kunjung terealisasi. Malu untuk menasehati padahal diriku pun tak layak diapresiasi.
Malu karena tak berhasil mengukir—apa yang tadinya kuanggap akan menjadi—prestasi.
Aku tak tau harus kesal kepada apa. Harus marah pada siapa. Harus mencari kemana.
Aku tak tau harus kesal kepada apa. Harus marah pada siapa. Harus mencari kemana.
Harus melakukan apa. Harus bagaimana, untuk mengobatinya.
Untuk mempertanggungjawabkan semuanya. Semua kekecewaanku pada diriku sendiri.
Sudah banyak hari-hari kulewati hanya sekadar untuk merefleksi sekaligus mengintrospeksi diri.
Sudah banyak hari-hari kulewati hanya sekadar untuk merefleksi sekaligus mengintrospeksi diri.
Sudah banyak kudengar beragam solusi tuk atasi rasa frustasi. Namun semua berujung pada satu poin di mana aku tak bisa mengulang kembali semuanya.
Aku tak bisa mengulang sesuatu yang sama dengan keadaan yang sama.
Saat aku menulis ini, untungnya keadaanku tak seburuk beberapa jam lalu. Tanganku tak lagi dalam keadaan gemetar.
Saat aku menulis ini, untungnya keadaanku tak seburuk beberapa jam lalu. Tanganku tak lagi dalam keadaan gemetar.
Jantungku perlahan telah memperlambat temponya. Nafasku tak lagi tersendat-sendat. Dadaku tak lagi penuh sesak.
Padahal tadinya kukira aku dapat menulis semuanya dalam keadaan yang buruk itu.
Tetapi ternyata menulis membuatku berpikir. Dan mungkin hanya menulis yang membuatku jauh lebih tenang dari sebelumnya.
Aku memang tak bisa meluapkan segalanya. Tulisan pun tak lantas seperti doa yang bebas kau utarakan begitu saja.
Aku memang tak bisa meluapkan segalanya. Tulisan pun tak lantas seperti doa yang bebas kau utarakan begitu saja.
Tulisan bahkan punya batas, yang tak bisa didobrak seenaknya dengan emosimu.
Tetapi dari tulisan ini, aku akhirnya mengerti satu hal bahwa ketika aku berusaha untuk berpikir, aku setidaknya dapat mengontrol emosiku.
Tulisan inilah yang akhirnya membuatku berpikir, bahwa aku sepertinya akan mengurungkan niatku, menumpahkan seluruh keluh kesahku.
Tulisan inilah yang akhirnya membuatku berpikir, bahwa aku sepertinya akan mengurungkan niatku, menumpahkan seluruh keluh kesahku.
Tulisan ini juga membuatku berpikir, biar saja semua itu tetap menjadi rahasiaku.
Entah sampai kapan, aku berani mengutarakannya. Perasaan yang benar-benar mengganggu, mengusikku, bahkan menghantuiku.
Terlintas sesaat untuk menyimpan tulisan ini sebagai sebuah draft, tetapi tak apalah.
Terlintas sesaat untuk menyimpan tulisan ini sebagai sebuah draft, tetapi tak apalah.
Biar saja tetap aku publikasi untuk diriku sendiri. Agar aku tak pernah lupa, bahwa aku ternyata pernah merasakannya...
Tags:
Heart Flow