Curahan Hati Pengangguran yang Bermimpi Mempekerjakan Orang



Cerita ini mungkin akan sangat membosankan untuk dibaca. Karena itu, sengaja saya beritahu di awal agar tidak ada penyesalan waktu yang terbuang ketika sudah membacanya.

Tulisan ini bisa dibilang sepenuhnya curahan hati saya. Saya menulisnya, lantaran tidak tahu harus bercerita pada siapa. Atau mungkin, kalau pun saya ceritakan ke orang, saya khawatir orang itu juga akan bosan mendengarnya. Jadi, tidak ada pilihan lain selain saya tulis saja di blog ini.

Baiklah, saya mulai ceritanya. Perkenalkan, saya seorang pria lajang berusia 28 tahun yang saat ini sedang tidak terikat dengan pekerjaan tetap atau boleh dikatakan seorang pengangguran. Pekerjaan terakhir saya, membantu teman menulis di salah satu media online alias "joki berita."

Bisa dibilang, itu pertama kalinya saya menerima uang dari hasil tulisan saya. Saya cukup senang bahwa tulisan saya akhirnya bisa menghasilkan uang. Ya setidaknya meskipun tidak besar, tetapi itu mungkin sebuah awalan yang patut disyukuri.

Di satu sisi, anehnya saya juga cukup sedih lantaran cara itu bukanlah hal yang saya harapkan.

Sebelum saya membantu teman saya, sebetulnya saya juga sempat menulis di salah satu media online (yang tidak perlu disebut namanya). Namun naas, tulisan saya selama hampir sebulan itu tidak mendapat profit sama sekali. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengundurkan diri.

Itulah awalnya puncak kesedihan saya, yang mendorong saya menerima tawaran teman saya menjadi joki berita. Saya merasa sangat kecewa ketika saat itu saya merasa sudah menulis dengan sungguh-sungguh namun tak mendapat hasil sama sekali.

Sejak awal, pekerjaan di media online itu memang menawarkan sistem bagi hasil, namun lagi-lagi rasanya sangat pahit ketika sebulan waktu yang saya habiskan tak menghasilkan profit sama sekali. Saya pun tak bisa protes, karena sedari pertama saya telah menyetujui sistem kerja berbagi profit seperti itu. Ya anggaplah, ini murni kesalahan dalam perhitungan saya.

Kekecewaan saya, sebetulnya bukan terfokus pada tidak adanya profit semata dari tulisan tersebut, tetapi lebih jauh dari itu. 

Saat memutuskan untuk resign, saya hari itu benar-benar merasa hancur. Saya merasa, saya selama ini telah sungguh-sungguh belajar menulis, baik ketika kuliah maupun dari hal-hal lain.

Perasaan hancur itu semakin berkecamuk, ketika saya mengingat kembali perjuangan kuliah saya yang sambil bekerja dan hingga saat ini pun tidak jelas statusnya. Sebelumnya, saya meninggalkan kampus pada 2019 lalu di saat saya belum berhasil menyelesaikan skripsi tunggal saya. Alias, sudah tidak ada lagi mata kuliah yang perlu diselesaikan selain skripsi.

Boleh dikatakan, hingga hari ini saya belum dinyatakan lulus sebagai sarjana.

Tak berhenti di situ, perasaan saya semakin hancur ketika mengingat blog ini yang menjadi awal pemicu saya untuk mulai menulis. Lagi-lagi saya merasa bahwa saya telah begitu seriusnya belajar menulis sejak lebih dari 10 tahun lalu.

Namun, kenyataannya tulisan saya belum bisa menghidupi saya. Meskipun telah banyak hal seperti waktu, tenaga, dan uang yang telah saya korbankan.

Saya pun sadar, saya tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Jika berpatokan pada hasil, mungkin memang saya mesti berusaha lebih keras lagi dari sebelumnya, pikir saya. Tetapi nyatanya, pikiran saya tak selalu jernih.

Hari itu saya benar-benar rapuh dan dipenuhi emosi negatif, sampai mungkin sempat membenci diri saya sendiri.

Hari-hari selanjutnya

Sejak 2019 lalu sebenarnya cara saya menyalurkan emosi negatif yang menurut saya tidak merugikan siapapun ialah menangis. Mungkin kedengarannya tampak lemah, tapi cara ini bagi saya sangat efektif daripada melampiaskan emosi.

Karena itu, hari-hari selanjutnya setelah saya memutuskan resign pada pertengahan September kemarin, saya lalui dengan banyak tangisan sampai saya merasa kuat lagi. Kuat untuk bermimpi, berencana, dan menata angan-angan kembali dengan langkah terukur dan paling sederhana yang mampu saya lakukan.

Sejak hari itu, saya betul-betul berjanji pada diri sendiri akan menghasilkan uang dari tulisan saya. Saya juga bermimpi, ingin membuat media sendiri yang sesuai dengan hobi dan minat saya.

Mungkin mimpi ini terdengar besar, tetapi inilah yang saya terus pikirkan selama beberapa tahun terakhir. Dan saya yakin jalannya semakin terbuka meskipun saya mesti menghadapi berbagai kepahitan sebelumnya.

Lagi pula, saya sudah terlanjur tercebur di dunia jurnalistik dan gagal menjadi wartawan muda akibat tak kunjung memegang gelar S1. Meskipun saya sempat diterima sebelumnya menjadi wartawan pada 2016 lalu, kesempatan itu malah tak sempat saya jalani lantaran waktu itu banyak mata kuliah yang mesti diselesaikan. 

Ibarat pepatah, nasi sudah menjadi bubur. Jadi, daripada saya mengeluhkannya, lebih baik saya fokus mencari formulanya dan berkecimpung berbisnis di sana, pikir saya.


Mimpi-mimpi saya

Saya selalu percaya, setiap harinya selalu ada kejutan yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Kalau diceritakan tentang pengalaman kerja saya, mungkin akan sangat melelahkan, meskipun saya masih mengingatnya.

Berbagai pekerjaan di luar jurnalistik bahkan telah mendominasi waktu saya dalam 10 tahun terakhir, mulai dari salesman, pegawai restoran (pelayan dan kasir), crew event, sales perbankan, ojek online hingga kurir sempat saya jalani.

Malah pekerjaan yang di bidang jurnalistik selain magang, bisa terhitung jari. Salah satunya, tahun lalu sebelum pandemi ketika saya ditawarkan menjadi fotografer di salah satu liga olahraga nasional oleh rekan saya.

Itu satu-satunya pengalaman kerja saya yang mengharuskan perjalanan dinas ke luar kota. Sejujurnya, pekerjaan itu sangat menyenangkan, namun apa boleh buat karena situasi tidak memungkinkan, saya yang statusnya hanya pekerja kontrak tidak bisa berkata apa-apa.

Berbicara mengenai mimpi, rasanya terdengar klise karena saat ini saya hanya menjalani pekerjaan sampingan sebagai kurir sayur online dan sesekali mengaktifkan kembali aplikasi driver ojek online, sambil bolak-balik mengecek inbox e-mail, berharap ada panggilan kerja. 

Namun, saya tidak berkecil hati. Bisa dibilang, masa-masa gengsi saya sudah habis di usia 20-24 tahun. Saat ini, pekerjaan apapun terasa besar, karena saya sudah punya tujuan yang besar.

Dulu, saya menilai pekerjaan mungkin hanya dari gajinya semata, padahal banyak pekerjaan luar biasa yang didedikasikan orang-orang dengan kecintaan sehingga menghasilkan produk atau nilai tambah yang luar biasa pula.

Saya selalu kagum dengan orang-orang yang memilih menjadi spesialis di bidang tertentu. Pikir saya ketika usia 20-an dulu, "kok ada ya orang mau-maunya terjebak di dunia yang itu-itu saja selama puluhan tahun?"

Tetapi, pikiran saya saat ini sudah tak seperti itu. Saya yang dulu cenderung lebih suka mengeksplor, selalu menganggap sesuatu yang dilakukan terus-menerus akan membuat kita bosan.

Namun, kedewasaan akhirnya mengajarkan saya bahwa ternyata seseorang melakukan hal yang sama selama bertahun-tahun karena mereka merasa, hal itulah yang menjadi penyemangat hidupnya.

Dari situ, saya pun memutuskan memilih satu bidang yakni, jurnalistik yang insyaallah akan menjadi teman saya hingga tua nanti. Tak tanggung-tanggung, lebih dari satu media yang saya rencanakan. 


Mungkin di lain kesempatan ketika salah satu telah terwujud, saya akan menceritakannya lebih mengenai detailnya.

Tetapi yang jelas, saya telah berniat untuk membuat media saya sendiri. Dengan begitu, saya bebas mengekpresikan keinginan yang selama ini saya bayangkan terkait jurnalistik.


Semua tergantung modal

Saat ini, satu hal yang saya sedang kejar ialah modal. Meskipun berdasarkan pengamatan saya jumlahnya tidak besar, tetapi tentu berat dengan situasi saya saat ini.

Kendati demikian, saya sekali lagi tidak mau mengecilkan harapan, karena ada yang Maha Memungkinkan di atas sana.

Bisa saja, di perjalanan saya bertemu dengan investor yang mau mendanai projek saya ini. Atau sekalipun tidak, saya tetap akan berusaha menabung dan memulainya dari tahapan yang paling sederhana, seperti kiat-kiat dalam buku motivasi yang saya pernah baca.

Modal saya yang telah kumpulkan sejauh ini ialah informasi, mengenai seluk-beluk bagaimana membangun media online. Selain itu, tentu saya telah mempelajari teknis terkait jurnalistik, karena telah tujuh tahun lebih saya mempelajari jurnalistik. Sisanya tinggal seiring berjalan saja.

Selain bermodal informasi, tentu saja saya punya beberapa konsep yang saat ini tengah saya matangkan. Konsep tersebut saya yakini berbeda dengan media kompetitor saya yang saat ini sudah ada.

Sedikit bocoran, media pertama yang ingin saya bentuk ialah media informasi seputar kejepang-jepangan yang menurut saya, sangat cocok dengan hobi saya yang melebur antara dunia jurnalistik dengan jejepangan.

Dengan tulisan ini, selain menghilangkan keresahan saya, saya juga berharap langkah saya untuk memulai Media Jejepangan semakin dekat.

Bukankah jika mimpi dibicarakan, dituliskan, dibuat perencanaan serta langkah-langkah pasti, maka ia akan semakin nyata?

Ya, semoga saja hal itu benar adanya. Kalau saya menyerah hari ini, mungkin orang lain tidak akan pernah melihat gagasan itu. 

Karena itu, hari ini saya menulisnya sebagai bentuk perlawanan saya dari rasa putus asa.

Daripada mengeluhkan nasib, lebih baik saya terus memikirkan bagaimana mengubahnya.

Dalam sudut pandang saya sebagai mantan mahasiswa komunikasi, salah satu caranya ialah dengan mengomunikasikannya.

Ganbare! (teriak saya pada diri sendiri). 

Bertahan dan terus berusaha hari ini, agar suatu saat dapat memberi pekerjaan pada orang lain.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama