Tampilan laman mesin pencarian Google pada 17 Agustus 2019. |
Sekali merdeka tetap merdeka..
Selama hayat masih dikandung badan..
Dua
penggal kalimat yang merupakan bagian dari lagu nasional "Hari Merdeka" ciptaan H. Mutahar itu tentu sudah sangat akrab di telinga kita.
Setiap tahunnya, lagu tersebut dinyanyikan serentak seraya memperingati hari
kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada
kesempatan ini, saya tentunya tak jauh berbeda dengan kebanyakan
masyarakat Indonesia lainnya yakni, mengekspresikan perasaan merdeka.
Kita semua tentu punya cara masing-masing dalam mengartikan, memaknai
dan mengekspresikan kemerdekaan.
Meskipun
mungkin pada awalnya kata "merdeka" digunakan sebagai pernyataan bahwa
secara hakikat individu, kita tidak lagi dipaksa untuk melakukan sesuatu
dan menjadi yang diinginkan orang lain ataupun mengikuti kehendak orang
lain. Dengan kata lain, kita terbebas dari penjajahan.
Namun,
hari ini setelah melewati hidup selama 26 tahun di negara yang sudah 74
tahun merdeka, muncul sebuah pertanyaan di benak saya.
Apakah saya benar-benar menjadi individu yang merdeka?
Pertanyaan
ini mungkin tidak hanya hadir di benak saya. Saya yakin di luar sana,
banyak yang mempertanyakan hal ini. Tak jarang saya lihat di berbagai
lintas media sosial, masih banyak yang menyuarakan hak-hak individu yang
merasa kian dibatasi oleh negara.
Mungkin
saya tidak cukup kompeten untuk membicarakan hal tersebut, oleh karenanya
saya hanya ingin fokus kepada topik pembahasan saya, yakni 'individu
yang merdeka'. Saya tidak ingin menyoroti soal eksternal yang begitu
rumit dengan segala aturannya.
Poin utama saya, ada pada sisi internal kita sebagai individu yang juga merupakan mahluk sosial.
Poin utama saya, ada pada sisi internal kita sebagai individu yang juga merupakan mahluk sosial.
Melalui
tulisan ini, saya sekaligus mengintrospeksi diri terkait hal-hal yang
menjadi esensi 'jiwa yang merdeka'. Karena di dalam tubuh seorang individu yang
merdeka, tentunya ada jiwa yang merdeka.
Jiwa yang bebas dari jeratan belenggu ketidakmampuan. Jiwa yang bebas dari keinginan dan kehendak orang lain. Jiwa yang bebas memenuhi rasa ingin tahunya. Jiwa yang bebas mencari dan menemukan.
Meskipun pada pangkal kebebasannya, jiwa tersebut mau tak mau dibatasi oleh kebebasan orang lain. Bisa dibilang, merdeka adalah kebebasan yang bisa dirasakan selama kita tidak melanggar 'aturan main'.
Jiwa yang bebas dari jeratan belenggu ketidakmampuan. Jiwa yang bebas dari keinginan dan kehendak orang lain. Jiwa yang bebas memenuhi rasa ingin tahunya. Jiwa yang bebas mencari dan menemukan.
Meskipun pada pangkal kebebasannya, jiwa tersebut mau tak mau dibatasi oleh kebebasan orang lain. Bisa dibilang, merdeka adalah kebebasan yang bisa dirasakan selama kita tidak melanggar 'aturan main'.
**
Sebagai
individu yang konsumtif, kita hanya bisa bertahan hidup jika sisi
konsumtif itu terpenuhi. Beruntunglah kita yang lahir pada era
pascakemerdekaan, karena kita punya lebih banyak pilihan untuk memenuhi
sisi konsumtif tersebut. Meskipun pada dasarnya kita tidak akan pernah
bisa 'merdeka' dari segi konsumtif.
Salah
satu upaya yang kita lakukan untuk mengatasi sisi konsumtif sebagai
individu bukan dengan menghapusnya, melainkan dengan melakukan
upaya produktif. Karena seberapa besar pun usaha kita untuk
menghilangkannya, pada akhirnya kita hanya punya pilihan terbaik untuk
mengurangi kadarnya.
Seolah rumus yang tepat untuk menjadi individu yang merdeka dalam berkebutuhan ialah memperkecil kadar konsumtif dan memperbesar kadar produktif.
Seolah rumus yang tepat untuk menjadi individu yang merdeka dalam berkebutuhan ialah memperkecil kadar konsumtif dan memperbesar kadar produktif.
Istilah
'konsumtif buatan' saya rasa cocok digunakan pada hal-hal yang bersifat
konsumtif yang tadinya tidak kita butuhkan namun seiring dengan
perkembangan zaman dan teknologi kita jadi membutuhkannya. Meningkatnya
konsumtif buatan berbanding lurus dengan kebutuhan-kebutuhan baru yang
terbentuk oleh zaman. Manusia dengan kecerdasannya senantiasa berlomba
mengatasi permasalahan dalam pemenuhan kebutuhan yang sekaligus melahirkan kebutuhan baru.
Karena pemenuhan kebutuhan tersebut tercapai, kita malah menjadikan si 'pemenuh kebutuhan' itu sebagai kebutuhan baru. Lazimnya, hal ini akan dinilai positif oleh masyarakat selama dianggap punya manfaat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Meskipun pemaknaan manfaatnya sendiri sebagian bersifat umum dan sebagian lainnya spesifik. Tergantung kepada individu yang memaknai manfaat itu sendiri.
Berbicara
mengenai merdeka semestinya tidak lepas dari kata bahagia. Individu
yang merdeka sepatutnya dapat merasakan kebahagiaan dalam menjalani
hidupnya. Bahagia secara substansial karena terbebas dari jeratan dan
paksaan, meskipun lagi-lagi harus ada batasan. Tetapi paling tidak, kita
diberi kesempatan untuk memilih.
Kita juga diberi ruang untuk menjadi yang kita mau, tanpa terpaksa tentunya. Kita bahkan difasilitasi untuk meraih yang kita impikan, meskipun fasilitas tersebut ada yang gratis dan ada pula yang berbayar.
Kita juga diberi ruang untuk menjadi yang kita mau, tanpa terpaksa tentunya. Kita bahkan difasilitasi untuk meraih yang kita impikan, meskipun fasilitas tersebut ada yang gratis dan ada pula yang berbayar.
Sampai
di sini, kita sepertinya memang sudah menjadi individu yang merdeka karena kita
dibebaskan dalam dua hal, yakni 'memilih' dan 'menjadi'.
Kita tak lagi dipaksa untuk memilih jalan hidup. Kita juga tak lagi dipakasa untuk menjadi seseorang. Kita benar-benar sudah merdeka dengan embel-embel 'tapi'.
Kita tak lagi dipaksa untuk memilih jalan hidup. Kita juga tak lagi dipakasa untuk menjadi seseorang. Kita benar-benar sudah merdeka dengan embel-embel 'tapi'.
Lantas mengapa saya terpikirkan bahwa pikiran ini masih belum merdeka dan merasa bahwa perasaan ini masih terjajah?
Rupanya
pikiran itu saya yang menciptakannya. Pikiran itu adalah defensi saya
atas 'standar sosial' yang tanpa sengaja tercipta di kehidupan
bermasyarakat.
Standar sosial ini yang kian hari kian menyerang pikiran saya. Sehingga membuat saya semakin terjajah karena harus 'menuruti' standar tersebut. Semestinya kan saya merasa cukup dengan standar hidup pribadi dan tidak perlu mengindahkannya.
Standar sosial ini yang kian hari kian menyerang pikiran saya. Sehingga membuat saya semakin terjajah karena harus 'menuruti' standar tersebut. Semestinya kan saya merasa cukup dengan standar hidup pribadi dan tidak perlu mengindahkannya.
Kemudian, setelah saya menelusuri lebih lanjut mengenai perasaan saya yang masih
terjajah ini, lagi-lagi saya mendapat jawaban bahwa perasaan itu merupakan
ciptaan saya sendiri. Ia adalah buah kekhawatiran saya.
Rasa khawatir yang diliputi kecemasan akan tidak mampu menyenangkan semua orang. Padahal menyenangkan semua orang sepertinya bukan tugas saya sebagai individu.
Rasa khawatir yang diliputi kecemasan akan tidak mampu menyenangkan semua orang. Padahal menyenangkan semua orang sepertinya bukan tugas saya sebagai individu.
Sebagai
contoh ketika saya mencoba melakukan sesuatu yang benar dengan cara
yang baik, rupanya masih ada yang tidak senang. Masih ada yang tidak
setuju karena menganggap hal tersebut terlalu kaku dan baku. Terlalu sesuai
dengan aturan.
Bahkan ketika saya berusaha menaati sistem, ada saja yang bilang kalau saya telah 'dibodohi' oleh sistem. Untungnya orang itu tidak menyebut "dibodohi pakai", karena bisa berujung pada hal yang panjang.
Rumit sekali memang perihal menyenangkan semua orang.
Bahkan ketika saya berusaha menaati sistem, ada saja yang bilang kalau saya telah 'dibodohi' oleh sistem. Untungnya orang itu tidak menyebut "dibodohi pakai", karena bisa berujung pada hal yang panjang.
Rumit sekali memang perihal menyenangkan semua orang.
Berdasarkan
hal itulah, saya semakin sadar bahwa ada banyak hal di dunia ini yang
tidak bisa kita lakukan. Salah satunya ialah menyenangkan semua orang.
Karena itu, saya memilih untuk tidak perlu lagi cemas memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang saya. Kekhawatiran itu justru membuat saya menjadi individu yang tidak merdeka.
Karena itu, saya memilih untuk tidak perlu lagi cemas memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang saya. Kekhawatiran itu justru membuat saya menjadi individu yang tidak merdeka.
***
Kesimpulannya,
di era yang lekat dan erat dengan internet ini, kita mungkin tidak lagi
terbatas dengan jarak. Kita bisa melihat dan mendengar sesuatu yang
jauh dari dekat.
Tetapi, justru di situ pula kelemahannya.
Dari yang kita anggap dekat inilah yang sering menciptakan kesalahpahaman. Kita dibuat menjadi cepat menilai, cepat mengomentari, cepat menanggapi, cepat menasehati, cepat mengkritisi dan lain sebagainya.
Padahal kembali lagi, kita sebenarnya tidak benar-benar dekat dengan apa yang kita lihat dan dengar itu.
Tetapi, justru di situ pula kelemahannya.
Dari yang kita anggap dekat inilah yang sering menciptakan kesalahpahaman. Kita dibuat menjadi cepat menilai, cepat mengomentari, cepat menanggapi, cepat menasehati, cepat mengkritisi dan lain sebagainya.
Padahal kembali lagi, kita sebenarnya tidak benar-benar dekat dengan apa yang kita lihat dan dengar itu.
Social standard (standar
sosial) semestinya tidak membuat kita terjajah. Kita tak mesti diatur
untuk menjadi apa yang orang lain mau dari kita. Kita berhak merdeka secara
pikiran maupun perasaan.
Tidak perlu lagi ada perasaan khawatir karena tidak bisa menyenangkan semua orang. Tidak perlu lagi memikirkan bagaimana pikiran orang lain tentang kita. Karena mungkin saja, kita yang selama ini terlalu berprasangka pada orang lain.
Padahal mungkin orang lain itu selalu berbaik sangka pada kita.
Tidak perlu lagi ada perasaan khawatir karena tidak bisa menyenangkan semua orang. Tidak perlu lagi memikirkan bagaimana pikiran orang lain tentang kita. Karena mungkin saja, kita yang selama ini terlalu berprasangka pada orang lain.
Padahal mungkin orang lain itu selalu berbaik sangka pada kita.
Terakhir, semoga kita bisa menjadi individu yang merdeka dari
standar sosial dan kekhawatiran. Terima kasih kepada para pahlawan dan
pejuang bangsa, karena berkat mereka, saya dan tulisan ini bisa ada.
Selamat memperingati HUT ke-74 Republik Indonesia. Dirgahayu Indonesiaku!